Gabungan dari tiga kekuatan dari Kasunanan Surakarta, Kesultanan Yogyakarta dan VOC ternyata belum mampu mengalahkan Pangeran Sambernyawa.
Dan sebaliknya Pangeran Sambernyawa juga belum mampu mengalahkan ketiganya. Namun semakin hari kedudukannya juga makin terdesak sehingga jalan perundingan dan perjanjian ditempuh.
Perjanjian Salatiga pada tanggal 17 Maret 1757 ini terpaksa diterima oleh Pangeran Sambernyawa sebagai cara penyelesaian konflik dan perang yang sudah memasuki tahun yang ke 8.
Isi dari Perjanjian Salatiga adalah :
1. Pangeran Sambernyawa di angkat sebagai Kanjeng Gusti Pangeran Aryo Adipati Mangkunegara I.
2. Beliau berhak menguasai tanah seluas 4000 karya, serta semua daerah yang pernah dilewati selama mengadakan pemberontakan dan menjalankan roda
pemerintahannya.
Baca Juga: Gus Baha :'Cita-cita Membuat Warung Kopi di Pinggir Masjid'
3. Beliau berhak mendirikan sebuah kraton atau Puro sebagai pusat pemerintahannya di Surakarta, tetapi dengan syarat :
- Dilarang membuat singgasana.
- Dilarang membuat alun-alun dengan beringin kurung.
- Dilarang membuat “Siti Inggil” dan balairung.
4. Dilarang menjatuhkan hukuman mati.
Pihak-pihak yang menandatangani perjanjian ini adalah Pangeran Sambernyawa, Kasunanan Surakarta, dan VOC, Kesultanan Yogyakarta, diwakili oleh Patih Danureja.
Perjanjian ini memberi Pangeran Sambernyawa separuh wilayah Surakarta seluas 4000 karya, Daerah yang sekarang menjadi Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Karanganyar, dan Ngawen di wilayah Yogyakarta.
KGPAA Mangkunegara I menjadi penguasa Kadipaten Mangkunegaran tidak diperbolehkan menggunakan gelar Sunan atau Sultan, dan hanya berhak atas gelar Pangeran Adipati.
Artikel Rekomendasi