Perjanjian Salatiga, Konflik 4 Pihak, Tanah 4000 Karya dan Larangan Hukuman Mati

- 3 April 2022, 14:36 WIB
Perjanjian Salatiga yang diikuti empat pihak.
Perjanjian Salatiga yang diikuti empat pihak. /instagram.com/@zonasejarah_smawahas

GRESIK TODAY - Perjanjian Salatiga yang ditandatangani pada tanggal 17 Maret 1757 di Salatiga.

Perjanjian Salatiga adalah perjanjian dari empat pihak dalam konflik perang Perebutan Tahta Raja Jawa yang ketiga yang berlangsung mulai tanggal 15 Desember 1749 hingga bulan Februari 1757 dan diakhir pada tanggal 17 Maret 1757.

Dikutip dari Mataram Royal Blood, Perjanjian ini ditandatangani oleh Raden Mas Said, Susuhunan Paku Buwono III, Sri Sultan Hamengku Buwono I dan VOC di gedung VOC yang sekarang digunakan sebagai kantor dari Walikota Kota Salatiga.

Baca Juga: Sejarah Sepak Bola Hari Ini: 3 April 2000, Eri Erianto Meninggal Dunia Usai Pertandingan

Baca Juga: Berhubungan Intim atau Jima' di Siang Hari Saat Bulan Puasa Ramadhan, Beberapa Hal Ini Harus Kamu Lakukan!

Susuhunan Paku Buwono III dari Kasunanan Surakarta dan Sri Sultan Hamengkubuwana I harus melepaskan beberapa wilayahnya untuk Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa. Daerah Ngawen di wilayah Yogyakarta dan sebagian Surakarta menjadi daerah kekuasaan Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa.Daerah yang dilepaskan ini kemudian menjadi kadipaten yang dinamakan Mangkunegaran.

Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa menjadi penguasa dari Mangkunegaran dan bergelar KGPAA Mangkunegara I.

Dua tahun sebelumnya Pangeran Mangkubumi juga mengakhiri perang dengan Perjanjian Giyanti dan memperoleh setengah dari wilayah kekuasaan Susuhunan Pakubuwana III kemudian menjadi Sultan Yogya dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwana I.

Baca Juga: Doa dan Keutamaan Puasa Hari Kedua Ramadhan, Allah Mencatat Bagai Ibadah Setahun dan Seperti Pahala Para Nabi

Perjanjian ini ditandatangani oleh Raden Mas Said, Sunan Paku Buwono III, VOC, dan Sultan Hamengku Buwono I di gedung VOC yang sekarang digunakan sebagai kantor Walikota Kota Salatiga. Setelah Perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755, Pangeran Mangkubumi resmi diangkat sebagai Sultan Yogya dengan sejumlah ketentuan dalam perjanjian yang lebih banyak menguntungkan VOC.

Keberhasilan VOC dalam Perjanjian Giyanti berhasil menarik Pangeran Mangkubumi ke dalam kubunya untuk menghadapi perlawanan dari Pangeran Sambernyawa. Namun Pangeran Sambernyawa masih tetap mengadakan perlawanan dan tidak mau menyerah.

Gabungan dari tiga kekuatan dari Kasunanan Surakarta, Kesultanan Yogyakarta dan VOC ternyata belum mampu mengalahkan Pangeran Sambernyawa.

Baca Juga: Bacaan Bilal Sholat Tarawih dan Jawaban Jamaah, Lengkap Disertai Tulisan Latin Untuk Persiapan Sholat Tarawih

Dan sebaliknya Pangeran Sambernyawa juga belum mampu mengalahkan ketiganya. Namun semakin hari kedudukannya juga makin terdesak sehingga jalan perundingan dan perjanjian ditempuh.

Perjanjian Salatiga pada tanggal 17 Maret 1757 ini terpaksa diterima oleh Pangeran Sambernyawa sebagai cara penyelesaian konflik dan perang yang sudah memasuki tahun yang ke 8.

Isi dari Perjanjian Salatiga adalah :
1. Pangeran Sambernyawa di angkat sebagai Kanjeng Gusti Pangeran Aryo Adipati Mangkunegara I.

2. Beliau berhak menguasai tanah seluas 4000 karya, serta semua daerah yang pernah dilewati selama mengadakan pemberontakan dan menjalankan roda
pemerintahannya.

Baca Juga: Gus Baha :'Cita-cita Membuat Warung Kopi di Pinggir Masjid'

3. Beliau berhak mendirikan sebuah kraton atau Puro sebagai pusat pemerintahannya di Surakarta, tetapi dengan syarat :
- Dilarang membuat singgasana.
- Dilarang membuat alun-alun dengan beringin kurung.
- Dilarang membuat “Siti Inggil” dan balairung.

4. Dilarang menjatuhkan hukuman mati.

Pihak-pihak yang menandatangani perjanjian ini adalah Pangeran Sambernyawa, Kasunanan Surakarta, dan VOC, Kesultanan Yogyakarta, diwakili oleh Patih Danureja.

Perjanjian ini memberi Pangeran Sambernyawa separuh wilayah Surakarta seluas 4000 karya, Daerah yang sekarang menjadi Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Karanganyar, dan Ngawen di wilayah Yogyakarta.

KGPAA Mangkunegara I menjadi penguasa Kadipaten Mangkunegaran tidak diperbolehkan menggunakan gelar Sunan atau Sultan, dan hanya berhak atas gelar Pangeran Adipati.

Sunan Paku Buwono III wafat pada tahun 1788 dan penggantinya adalah Sunan Paku Buwono IV, yang cakap dalam politik dan piawai dalam intrik dan intimidasi. Dua tahun setelah wafatnya Paku Buwono III.

Baca Juga: Penting Diketahui Inilah Beberapa Hal yang Dapat Membatalkan Puasa, Nomor 6 Sering Dilakukan

 Awal tahun 1790 Sunan Paku Buwono IV melancarkan strategi politik yang agresif dengan memulai memberi nama untuk saudaranya Arya Mataram. Oleh Susuhunan Paku Buwono IV, Arya Mataram dianugerahi nama Pangeran Mangkubumi.

Pemberian nama "Mangkubumi" menimbulkan protes Sri Sultan Hamengku Buwono I yang merasa kebakaran jenggot karena hak nama Mangkubumi adalah miliknya sampai meninggal dunia.

Sultan mengajukan protes kepada Kompeni yang ternyata tidak membuahkan hasil karena Sunan tetap pada pendirian tidak bakalan mencabut nama Mangkubumi untuk saudaranya. Jurus politik pertama Paku Buwono IV di lanjutkan dengan jurus keduanya yaitu menolak hak suksesi Putra Mahkota Kasultanan Yogyakarta.

Suhu politik yang sudah memanas itu bertambah lagi dengan tuntutan Mangkunegara I yang melihat suatu peluang ada didepannya. KGPAA.

Baca Juga: Lupa Mengucapkan Niat Puasa Ramadhan Malam Hari Apakah Sah Puasanya? Begini Penjelasan dan Cara Antisipasinya

Mangkunegara I menulis surat kepada Gubernur di Semarang Yan Greeve pada bulan Mei 1790 yang isinya Mangkunegara I menagih janji dari Residen Surakarta yang bernama Frederick Christoffeel van Straaldorf yang menjanjikan bahwa jika Pangeran Mangkubumi yang menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono I wafat maka KGPAA.

Mangkunegara I berhak menduduki tahta dari Kesultanan Yogyakarta. VOC yang tidak ingin terseret kembali dalam pertikaian bersenjata menjadi panik dan mulai memeriksa situasi lapangan militernya dan ke tiga Kerajaan.

VOC yang di wakili Yan Greeve menemui dengan perasaan kecewa ketika dilapangan menemukan fakta bahwa Mangkunegara I memiliki 1.400 orang pasukan bersenjata yang siaga.

Baca Juga: Wafat yang Indah Habib Abdul Qadir bin Abdurrahman Assegaff

Dalam waktu yang singkat kekuatan 1.400 orang bersenjata dapat dilipatkan dengan memanggil pengikutnya menjadi 4.000 orang pasukan bersenjata.***

Editor: Abdulloh Nasrul Umam

Sumber: Instagram @mataramroyalblood


Tags

Artikel Rekomendasi

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah