Nyai Jika, Kartini dari Ujung Pangkah Ahli Mengatur Strategi Perang

- 21 April 2022, 12:56 WIB

GRESIK TODAY - Nyai Jika namanya begitu familiar di telinga masyarakat Ujung pangkah. Kisah perjuangannya diceritakan dalam bahasa tutur secara turun temurun.

Jika adalah nama panggilan, nama aslinya tidak banyak orang mengetahuinya. Menurut H Husain Bawafi salah satu sesepuh Ujung pangkah mengatakan nama sebenarnya nyai Jika adalah Siti Julaikha, atau jiktu ilaika.

Ada pula yang mengatakan nama nyai jika berasal dari kata kaji dan mekkah. Artinya beliau pernah menunaikan ibadah haji di Mekkah.

Nyai jika merupakan istri dari jayeng katon atau jiwo suto, salah satu penyebar agama Islam di pesisir Ujung pangkah. Nyai Jika merupakan keturunan Arab dan lama tinggal disana.

Karena kecintaan terhadap suami serta anaknya Nyai Jika memutuskan untuk membantu kegiatan dakwah sang  suami di pondok Ujung pangkah.

Nyai Jika mengajarkan kepada masyarakat tentang ajaran Islam mulai dari Sahadat, sholat dan membaca Al Quran hal ini karena jaman itu sebagian besar masyarakat Ujung pangkah masih menganut ajaran animisme dan dinamisme.

Baca Juga: Jangan Sampai Lupa!, 7 Sunnah yang Penting Dilakukan Jelang Idul Fitri, Nomor 5 Paling Berarti!

Boleh dikata apa yang dilakukan Nyai Jika tidak kalah dengan apa yang dilakukan oleh Raden Ajeng Kartini. Kalau RA kartini menghapus buta aksara, Nyai Jika menghapus buta Aqidah

Setelah lama tinggal di pondok Ujung pangkah Oleh sang suami Nyai Jika dibuatkan tempat tinggal di sebelah timur Ujung pangkah.

Kampung Nyai Jika ini di beri nama kampung seng. Nama ini sengaja diberikan agar Nyai Jika betah tinggal disana karena namanya mirip dengan tempat kelahirannya di Mekkah (pasar seng).

Di kampung seng Nyai Jika ditemani oleh lima anak lelakinya yang bernama pendil wesi, karang wesi, joko berek, cinde amo dan joko slining.

Kedamaian Nyai Jika terusik dengan kedatangan bangsa belanda. Mereka datang menyusuri laut Jawa dengan membawa banyak pasukan.

Belanda kemudian mendirikan markas dekat dengan tempat tinggal Nyai Jika. Kehadiran tentara Belanda menjadi beban pikiran bagi keluarga Nyai Jika, hal ini karena Belanda memberikan pengaruh negatif terhadap masyarakat Ujung pangkah.

Semakin lama perilaku Belanda semakin menjadi jadi, mereka mengambil tanah milik penduduk secara paksa bagi yang membangkang maka akan disiksa.

Fenomena ini membuat Nyai Jika dan kelima anaknya marah. Mereka tidak ingin tanah Ujungpangkah menjadi jajahan Belanda seperti dialami daerah lainya.

Kelima putra  Nyai Jika yang dikenal dengan satria pendowo juga berpikir tentang kelangsungan dakwah agama Islam yang sudah dirintis oleh orang tuanya.

Singkat cerita mereka mulai mengatur siasat untuk mengusir Belanda dari bumi Ujung pangkah. Hadir pertemuan itu semua anak Nyai Jika, mas kiriman dan sayid mesir.

Jayang katon tidak hadir dalam pertemuan itu karena sudah lama meninggalkan Ujung pangkah untuk berdakwah dan menyepi mencari ketenangan diri.

Pertemuan diakhiri dengan doa oleh Nyai Jika. Ia memanjatkan doa agar dalam mengusir penjajah diberikan kemenangan.

Pada malam yang telah ditentukan Nyai jika dan kelima anaknya mulai melakukan saat yang telah disepakati.

Mereka mulai mengepung markas Belanda. Kedatangan pasukan Nyai jika membuat Belanda terkejut dan lari kalang kabut. Tentara Belanda tidak sempat membawa senjata dan lari ke segala penjuru.

Salah satu putra Nyai Jika yang bernama cindi Amo mengejar komandan Belanda. Di tengah pengejaran komandan Belanda mengeluarkan tembakan, tetapi anehnya tidak ada satupun yang melukai tubuh Cindi Amo.

Komandan itu tewas di tangan Cindi Amo. Komandan itu tewas dengan luka tusuk ditubuhnya. Tempat kematian komandan Belanda kelak kemudian dikenal dengan kuburan Belanda.

Melihat pemimpinya tewas pasukan Belanda lari kocar kacir tanpa arah. Ditengah malam pasukan Belanda tidak tahu kemana harus bersembunyi.

Pasukan Nyai Jika sengaja memasang lampu ting (lampu dari minyak tanah), melihat ada lampu ting menyala Belanda mengira itu adalah pemukiman warga dan bergegas menuju ke sana.

Siasat ini berhasil pasukan Belanda berhasil dihabisi. Tempat ini nanti dikenal dengan nama bitingan.

Pasukan Belanda juga mendapat hadangan dari anak Nyai Jika lainya. Proses pelarian tentara belanda ini kemudian diabadikan menjadi nama daerah yang ada disekitar ujung pangkah.

Nama daerah itu antara lain Setro karena dulu banyak tumpukan mayat tentara Belanda yang telah membusuk dan dimakan belatung.

Setro artinya set (belatung) roto (rata). Bekuto konon dinamakan seperti itu karena banyak tentara yang dilucuti senjatanya, pakainya dan hanya tinggal celana atau katok (dalam bahasa Jawa ). Bekuto (kari katok tok)

 

*** 

 

 

Editor: Dewi Rahmayanti

Sumber: Blog Masnukan


Tags

Artikel Rekomendasi

Terkini